Sabtu, 26 Maret 2016

Subjek dan objek hukum zakat Pendapatan



Pengertian subjek dan objek hukum
                Subjek hukum adalah pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu. Pada dasarnya subjek hukum terbagi dua yaitu orang dan badan hukum. Sedangkan Objek hukum adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasaan subjek hukum berkaitan didalamnya. Comtoh dari ojbek hukum adalah benda-benda ekonomi yang untuk memperoleh nya diperlukan pengorbanan terlebih dahulu.

-Subjek Zakat
Subjek zakat disebut muzakki, adalah orang yang berdasarkan ketentuan hukum islam diwajibkan mengeluarkan zakat atas harta yang dia miliki. Para ulama sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada orang islam dewasa yang telah memenuhi syarat-syarat nya yaitu  berakal sehat , merdeka dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarta-syarat tertentu juga. 

-Objek Zakat
Al-Quran tidak memberi ketegasan tentang jenis-jenis harta yang wajib zakatnya dan syarat-syarat apa sja yang harus dipenuhi, serta tidak menjelaskan berapa besar yang harus dizakatkan. . Sunnah itulah yang menafsirkan yang masih bersifat umum, menerangkan yang masih samar dan membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan manusia. Hal itu karena Rasulullah saw yang bertanggungjawab menjelaskan al-Qur’an dengan ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau. Dan beliau pulalah yang lebih paham tentang maksud firman Allah SWT.  
Tidak semua harta benda atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang terkena zakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

  •   Bebas zakat, seperti rumah tempat tinggal beserta meubelair, mobil pribadi dan peralatan kerja. 
  • Wajib dizakati harta bendanya saja, seperti emas dan perak, apabila telah mencapai nishab dan haulnya. 
  • Wajib dizakati penghasilan dari harta bendanya saja, seperti hasil dari tanah pertanian atau perkebunan dan sewa gedung.
  •  Wajib dizakati harta benda dan penghasilan yang timbul dari padanya, seperti hasil dari peternakan dan perdagangan.  

Zakat profesi

Yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat dari penghasilan atau pendapatan yang di dapat dari keahlian tertentu, seperti dokter, arsitek, guru, penjahit, da'I, mubaligh, pengrajin tangan, pegawai negri dan swasta. Penghasilan seperti ini di dalam literatur  fiqh sering disebut dengan al- mal al mustafad ( harta yang didapat ).
Ketentuan Zakat Profesi
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan cara mengeluarkan zakat profesi : 

Pendapat Pertama : zakat  profesi ketentuannya diqiyaskan kepada zakat perdagangan, artinya nishab, kadar dan waktu mengeluarkannya sama dengan zakat perdagangan.  Nishabnya senilai 85 gram emas, kadarnya 2,5 persen dan waktu mengeluarkan setahun sekali setelah dikurangi kebutuhan pokok.
Sebagai contoh : Seorang pegawai swasta berpenghasilan setiap bulannya Rp. 10.000.000,- Kebutuhan pokoknya Rp. 3.000.000,- maka cara penghitungan zakatnya adalah  :
Rp.10.000.000, – Rp.3.000.000,- = Rp.7.000.000,-
Rp.7.000.000,- X 12 bulan = Rp 84.000.000,-
Rp. 84.000.000 X 2,5 % = 2.100.000 pertahun  atau 175.000 perbulan.

 Pendapat kedua : zakat profesi diqiyaskan kepada zakat pertanian. Artinya setiap orang yang mendapatkan uang dari profesinya langsung dikeluarkan zakatnya, tanpa menunggu satu tahun terlebih dahulu. Tetapi besarnya mengikuti zakat emas, yaitu 2,5 %.
Contoh : Seorang pegawai swasta berpenghasilan setiap bulannya Rp. 3.000.000,-, maka cara penghitungan zakatnya adalah  :
Rp. 3.000.000 X 2,5 % = 7.500,-
Jika di jumlah dalam satu tahun berarti : Rp. 7.500,- X 12 = Rp. 90.000,- 

Zakat Perusahaan

Pada saat sekarang ini, hampir sebagian besar perusahaan dikelola tidak secara individual, melainkan secara bersama dalam sebuah kelembagaan dan organisasi dengan manajemen yang modern, misalnya dalam bentuk PT, CV, atau koperasi.  

Adapun yang menjadi landasan hukum kewajiban zakat pada perusahaan adalah nash-nash yang bersifat umum, seperti termaktub dalam surat al-Baqarah: 267. Karena itu dalam Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan, dengan catatan antara lain adanya kesepakatan sebelumnya antara pemegang saham, agar terjadi keridhaan dan keikhlasan ketika mengeluarkannya. Menurut hasil muktamar tersebut, perusahaan termasuk kedalam Syahshan I’tibaran (badan hukum yang dianggap orang), karena didalamnya timbul transaksi, meminjam, menjual, berhubungan dengan pihak luar dan menjalin kerjasama.  
Dalam kaitan dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam Undang Undang No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat, Bab. IV pasal 11 ayat (2) bagian (b) dikemukakan bahwa diantara objek zakat yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan.  

Zakat Surat-surat Berharga

Zaman modern ini mengenal satu bentuk kekayaan yang diciptakan oleh kemajuan dalam bidang industri dan perdagangan didunia, yang disebut Saham dan Obligasi. Saham dan obligasi adalah kertas berharga yang berlaku dalam transaksi-transaksi perdagangan khusus yang disebut “Bursa Kertas-kertas Berharga”.  

Zakat Saham

Salah satu bentuk harta yang berkaitan dengan perusahaan dan bahkan berkaitan dengan kepemilikannya adalah saham. Pemegang saham adalah pemilik perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasional perusahaan. Pada setiap akhir tahun, yang biasanya pada waktu Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) dapatlah diketahui keuntungan (deviden) perusahaan, termasuk juga kerugiannya. Pada saat itulah dientukan kewajiban zakat terhadap saham tersebut.

Yusuf Qardhawi, mengemukakan dua pendapat yang yang berkaitan dengan kewajiban zakat pada saham tersebut. Pertama, jika perusahaan itu merupakan perusahaan industri murni, artinya tidak melakukan kegiatan dagang, maka sahamnya tidak wajib dizakati, dengan alasan karena saham-saham itu terletak pada alat-alat, perlengkapan, gedung, sarana dan prasarana lainnya, yang keuntungannya disatukan kedalam kekayaan pemilik saham-saham tersebut, dimana zakatnya dikeluarkan bersama harta lainnya sebagai zakat kekayaan. Kedua, jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan dagang murni yang membeli dan menjual barang-barang tanpa melakukan kegiatan pengolahan, maka saham-saham atas perusahaan itu wajib dikeluarkan zakatnya. kedua pendapat tersebut, tidaklah bertentangan, karena kedua- duanya menyatakan bahwa saham itu, meskipun dengan pendekatan yang berbeda, termasuk kedalam sumber zakat.  

zakat saham dianalogikan pada zakat perdagangan, baik nishab maupun kadarnya, yaitu nishabnya senilai 85 gram emas dan kadarnya sebesar 2,5 persen. Yusuf al-qardawi memberikan contoh, jika seseorang memiliki saham senilai 1.000 dinar, kemudian di akhir tahun mendapatkan deviden atau keuntungan sebesar 200 dinar, maka ia harus mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari 1.200 dinar atau 30 dinar. Sementara itu, Muktamar Internasional pertama tentang zakat (Kuwait, 29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa jika perusahaan telah mengeluarkan zakatnya sebelum deviden di bagikan kepada para pemegang saham, maka para pemegang saham tidak perlu lagi mengeluarkan zakatnya. Jika belum mengeluarkan, maka tentu para pemegang sahamlah yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya.

Zakat Obligasi

Obligasi adalah pinjaman tetap yang diharapkan bisa dikembalikan lagi kepada orang-orang kaya dan para pemilik modal, dimana sebagai tanda buktinya mereka menerima surat-surat obligasi dalam kedudukan mereka sebagai kreditor, bukan sebagai sekutu pemegang saham.  

Pemilik obligasi sesungguhnya pemilik piutang yang di tangguhkan pembayarannya tetapi harus segera di bayar bila temponya sampai . waktu itu zakatnya wajib dibayar untuk setahun bila obligasi itu sudah berada di tangannya setahun atau lebih. Ini adalah pendapat Malik dan Abu Yusuf. Tetapi bila temponya belum sampai, maka pembayaran zakatnya tidak wajib, karena ia merupakan piutang yang tertangguhkan. Begitu juga apabila belum cukup setahun dalam pemilikannya, berdasarkan ketentuan bahwa zakat wajib apabila sudah berlalu satu tahun.

Karena obligasi bertumbuh dan memberikan kepada pemberi pinjaman itu bunga, sekalipun bunga haram. Haramnya bunga tidak bisa dijadikan alasan untuk membebaskan pemilik obligasi dari kewajiban membayar zakat, oleh karena mengerjakan perbuatan terlarang tidak bisa mengerjakannya keistimewaan.
Menenai zakat obligasi ini, selama si pemilik obligasi belum dapat mencairkan uang obligasinya, karena belum jatuh temponya atau belum mendapat undiannya, maka ia tidak wajib menzakatinya, sebab obligasi adalah harta yang tidak dimiliki secara penuh, karena masih hutang, belum ditangan pemiliknya. Namun apabila sudah dapat dicairkan uang obligasinya, maka wajib segera dizakatinya sebanyak 2,5 %.  


Referensi :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar