Pengertian Hukum
Perdata
Hukum
Perdata adalah
ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu
dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratanEropa (civil
law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam
sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian
semacam ini. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Pengertian Hak Asuh Anak
Kata hadhanah
(Hak Asuh Anak) adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy,
atau mengasuh atau memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian
ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping dan dada atau
lengan.
Secara
terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan
merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang
dapat membahayakan dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika
pasangan suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk
berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena sianak masih perlu penjagaan,
pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi
kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
Prosedur Hak Asuh Anak Pasca Cerai
Dalam pasal
41 Undang-Undang perkawinan tahun 1974 menyebutkan bahwa salah satu
akibat dari putusnya perkawinan adalah :
(1) ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
(2) ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
(3) pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
(1) ibu atau ayah tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak. Jika terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memberikan keputusan kepada siapa hak asuh anak tersebut kemudian akan diberikan;
(2) ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
(3) pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri .
Dalam
Undang-Undang perkawinan tidak terdapat pasal yang menjelaskan hak asuh anak
pasca cerai jatuh pada ayah atau ibu, akan tetapi terkait dengan hal ini
Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci yaitu
:
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
(2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum berumur 12 tahun.[1] Hak asuh anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dan pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan oleh anak tetap menjadi tanggung jawab ayah.
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
(2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada si anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Dari penjelasan ini bisa diambil kesimpulan bahwa hak asuh anak pasca cerai jatuh pada ibu, jika anak tersebut belum berumur 12 tahun.[1] Hak asuh anak yang terdapat dalam pasal 41 UU Perkawinan dan pasal 105 KHI dapat dipahami bahwa hak asuh anak jatuh pada ibu, sedangkan biaya pendidikan dan pemeliharaan yang dibutuhkan oleh anak tetap menjadi tanggung jawab ayah.
Selanjutnya
dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan
bahwa salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga
dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama tentang pencabutan kuasa hak
asuh anak, jika terdapat alasan kuat mengenai hal tersebut. Dalam hubungannya
dengan gugatan hak asuh anak, jika dilihat dari sisi kepentingan
penggugat sekurangnya terdapat dua kemungkinan bentuk tuntutan yaitu: Pertama :
si penggugat berkepentingan hanya untuk menetapkan menurut hukum bahwa hak
pemeliharaan atas anak tersebut berada dalam penguasannya sedangkan faktanya
anak tersebut memang sudah berada dalam pemeliharaan dan penguasaannya.
Tuntutan ini diajukan dengan alasan adanya indikasi kuat bahwa pihak tergugat
ingin merebut si anak sedangkan tergugat tidak mampu memberikan jaminan bagi
perkembangan yang terbaik bagi si anak. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar
pihak tergugat tidak bisa mengambil anaknya begitu saja untuk dikuasai. Kedua,
penggugat disamping berkepentingan untuk menetapkan secara hukum atas anaknya
berada dalam pemeliharaan dan penguasaannya juga berkpentingan untuk memperoleh
anaknya kembali ke dalam pemeliharaannya yang faktanya selama ini telah
dikuasai oleh tergugat.
Prosedur pengajuan gugatan terhadap hak asuh anak
Dalam
memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian,
sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk
memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak heran banyak
permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik didalam persidangan
maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya aturan yang jelas dan
tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam yang menyatakan :
“Dalam hal
terjadi perceraian :
- pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
- pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
- biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Karena
tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim
mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di
persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak
termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.[2]
Adapun
prosedur pengajuan hak asuh anak termasuk dalam kumulasi perkara acara
permohonan cerai mengingat bahwa hak asuh anak terjadi sebagai akibat dari
adanya perceraian. Permohonan ini dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 (5) UU-PA) kumulasi
ini merupakan ketentuan khusus.
Jadi dalam
perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, Hakim sebelum memutuskan siapa
yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat meminta pendapat dari si anak. Hal ini
juga tidak terlepas dari kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan
seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan.
Pasal 10 UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :
"Setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan"
Berdasarkan
ketentuan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat
meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”. Untuk
meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”, hakim
harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia si anak.
Referensi :
menurut anda apakah hukum perdata yang sekarang berlaku perlu ada pembaharuan ??
BalasHapusSaya cerai ghoib, pengadilan agama tidak mengeluarkan surat hak asuh
BalasHapusSedangkan pembuatan pasport membutuhkan
Lalu bagaimana solusinya ? Terimakasih