Pembahasan
tentang Hukum Perjanjian
Di dalam
pasal 1331 KUHPerdata yang dimaksud perjanjian adalah suatu perbuatan satu
orang atau lebih untuk mengikatkan dirinya terhadap satu oarang atau lebih.
Sedangkan para ahli hukum mengatakan, kita sebut saja Abdulkadir Muhammad bahwa
ia mengemukakan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.
Dalam hal ini suatu perjanjian itu pasti akan timbul dari adanya perikatan
antara satu orang ataupun lebih.
Unsur –
unsur yang ada di dalam hukum perjanjian
·
Kata sepakat
dari kedua belah pihak atau lebih
·
Sepakat ini
berasal dari dua orang yang sudah berjanji dalam suatu hal yang dijanjikan.
·
Kata sepakat
tercapai harus bergantung kepada para pihak
·
Keinginan atau tujuan para pihak untuk
timbulnya akibat hukum.
·
Akibat hukum
untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik.
·
Dibuat
dengan mengindahkan ketentuan perundang – undangan.
Macam –
macam perjanjian
·
Perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak
·
Perjanjian
percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani
·
Perjanjian
bernama dan tidak bernama
·
Perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator
·
Perjanjian
konsensual dan perjanjian real
Bentuk –
bentuk perjanjian
·
Dalam bentuk
lisan yang diucapkan secara langsung oleh pihak – pihak yang berjanji
·
Dalam bentuk
tulisan, dibagi menjadi 2 yaitu : di bawah tangan dan otentik
Syarat –
syarat terjadinya suatu perjanjian
·
Terdapat
kesepakatan antara dua pihak
·
Hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar
·
Terdapat suatu hal yng dijadikan perjanjian
·
Kedua belah pihak mampu membuat perjanjian
·
Pembatalan
suatu perjanjian diakibatkan dalam berikut
·
Adanya suatu
pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak dapat diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
·
Pihak
pertama melihat adnya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financialtidak dapat memenuhi kewajibannya.
·
Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
·
Terlibat
hukum
·
Tidak lagi
memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melksanakan perjanjian.
Contoh Kasus Hukum Perjanjian
Karyawan Dipaksa Menandatangani Perjanjian
Disertai Ancaman Hukum
Nama saya
Warni, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Sejak duduk dibangku
sekolah, saya selalu diajarkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, yang
menempatkan hukum sebagai hal tertinggi, menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia
(HAM), dan menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Dimana
pemerintah memiliki keleluasaan untuk memberikan perlindungan atas hak-hak
kebebasan sipil warga negara dari tindakan kesewenang-wenangan.
Menurut pendapat saya, seharusnya hal ini dijadikan acuan oleh semua perusahaan di Indonesia, baik perusahaan asing maupun local dalam menjalankan usahanya. Namun kenyataan berkata lain, saat ini banyak perusahaan yang memberlakukan peraturan kerja yang mengikat, yang melarang karyawan untuk bekerja di perusahaan pesaing disertai dengan ancaman hukum.
Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh perusahaan asing tersebut.
Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya? Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.
Menurut pendapat saya, seharusnya hal ini dijadikan acuan oleh semua perusahaan di Indonesia, baik perusahaan asing maupun local dalam menjalankan usahanya. Namun kenyataan berkata lain, saat ini banyak perusahaan yang memberlakukan peraturan kerja yang mengikat, yang melarang karyawan untuk bekerja di perusahaan pesaing disertai dengan ancaman hukum.
Contoh kasus yang terjadi baru-baru ini, dapat dilihat pada suara pembaca detik.com tanggal 12 April 2011 yang berjudul “Dipaksa Menandatangani Perjanjian Disertai Ancaman Hukum.” Yang menceritakan kisah LB, karyawan perusahaan portal lowongan kerja yang berkantor di wilayah Slipi, Jakarta Barat. Meskipun LB berstatus karyawan di perusahaan asing tersebut, LB tidak menerima gaji sebagaimana layaknya karyawan di perusahaan sejenis di tempat lain, karena setiap bulannya LB hanya menerima kompensasi apabila ada penjualan. Singkat cerita, karena LB memutuskan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dan bergabung dengan perusahaan lain di industri yang sama, General Manager (GM) perusahaan asing tersebut melarang LB untuk pindah ke perusahaan lain, dan ’memaksa’ LB menandatangani surat perjanjian. Bahkan LB berkali-kali diancam akan diseret ke meja hijau oleh perusahaan asing tersebut.
Kalau sudah begini keadaannya, saya jadi mempertanyakan peranan Pemerintah khususnya departemen Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang memperjuangkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya? Apakah kekuasaan yang dimiliki oleh kaum kapitalis di Indonesia dapat mengontrol atau bahkan membukam pemerintah? Padahal, apabila kita berpedoman pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” seharusnya kasus LB tidak pernah terjadi di Indonesia.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar